Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak untuk -mentauhidkan- Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Ayat yang mulia ini mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita, di antaranya:
- Yang dimaksud dengan dakwah ila Allah (mengajak manusia kepada Allah) adalah mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah, bukan dalam rangka meraih ambisi dunia, kepimpinan (baca: kursi), dan tidak juga kepada hizbiyah/fanatisme golongan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 45). Dan perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan dakwah tauhid di sini bukanlah sekedar meyakinkan umat manusia bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta (tauhid rububiyah). Akan tetapi yang dimaksud adalah mengajak mereka untuk bertauhid uluhiyah. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “…para rasul tidak diutus untuk menetapkan tauhid rububiyah karena hal itu sudah ada, hanya saja hal itu tidak mencukupi. Akan tetapi Allah mengutus mereka untuk menetapkan tauhid uluhiyah, yaitu mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah. Itulah agama para rasul dari sejak yang pertama hingga yang terakhir.” (Syarh Kitab Kasyfu Syubuhat, hal. 20). Kemudian, perlu diingat juga bahwa dakwah tauhid ini tidak sekedar mengajak manusia untuk mengucapkan la ilaha illallah tanpa memahami dan melaksanakan kandungannya [!]. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz ketika mengutusnya untuk berdakwah, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah agar mereka beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafazh Muslim. Lihat Syarh Muslim [2/49]). Maka bunyi hadits ini merupakan penafsiran riwayat lainnya yang berbunyi, “Jadikanlah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah syahadat la ilaha illallah dan aku adalah utusan Allah…” (lihat Syarh Muslim [2/47]). Ini menunjukkan bahwa sekedar mengucapkan la ilaha illallah tanpa diiringi dengan ketundukan beribadah kepada Allah belumlah mencukupi. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa ibadah kepada Allah tidak akan diterima kecuali apabila ikhlas untuk Allah (kandungan syahadat la ilaha illallah) dan dilakukan dengan mengikuti syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kandungan syahadat Muhammad rasulullah). Hal ini juga menunjukkan bahwa inti dakwah tauhid adalah mengajak manusia untuk mencampakkan semua sesembahan selain Allah dan mempersembahkan semua ibadah hanya kepada Allah serta meninggalkan semua panutan yang menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Di dalam ayat ini terdapat peringatan untuk menjaga keikhlasan dalam berdakwah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Karena sesungguhnya kebanyakan orang jika mengajak/berdakwah kepada kebenaran maka seringkali -menyimpang- sehingga justru mengajak orang lain untuk mengikuti dirinya sendiri.” (Kitab at-Tauhid yang dicetak bersama al-Qaul al-Sadid, hal 28). Orang yang ikhlas mengajak kepada kebenaran tentu saja akan merasa senang menerima kebenaran darimana pun datangnya, meskipun bukan melewati dirinya. Maka ayat di atas menunjukkan wajibnya ikhlas dalam berdakwah ila Allah (lihat al-Jadid, hal. 63)
- Ayat ini menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya adalah mendakwahkan tauhid di atas ilmu. Hal ini sekaligus menunjukkan wajibnya mempelajari tauhid dan anjuran untuk memahaminya dengan sebaik-baiknya. Sehingga seorang muslim harus bersemangat dalam mempelajari akidah yang benar dan menyebarkannya. Inilah salah satu keistimewaan manhaj salaf! Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah mengatakan, “Salah satu keistimewaan pengikut manhaj salaf adalah bersemangat dalam menyebarkan akidah yang benar dan ajaran agama yang lurus. Bersemangat dalam memberikan pengajaran dan kebaikan kepada umat manusia. Dan bersemangat dalam membantah orang-orang yang menyimpang dan ahli bid’ah.” (Ceramah beliau yang berjudul Da’a-im Minhaj Nubuwwah)
- Ayat ini juga menunjukkan bahwa seorang da’i harus mengetahui dengan jelas apa yang dia dakwahkan dan apa yang dia larang (lihat al-Mulakhash, hal. 46, al-Jadid, hal. 63). Dengan kata lain, wajib berilmu sebelum berdakwah. Sehingga hal ini menepis ajakan sebagian kelompok yang menghasung kaum muslimin untuk berdakwah kesana kemari namun tidak memperhatikan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Bahkan di antara mereka demikian bersemangat untuk mengorbitkan kadernya supaya bisa menduduki posisi-posisi penting dalam organisasi kampus, lembaga pemerintahan, atau dewan perwakilan dengan dalih ‘untuk memberikan warna Islam dan memperbaiki dari dalam’. Padahal, ketika dicermati ternyata bekal ilmu yang mereka miliki untuk berdakwah sangatlah minim! Subhanallah, orang Arab bilang ‘Faaqidus syai’i laa yu’thii’ (orang yang tidak punya, tidak bisa memberi apa-apa). Bagaimana mereka mau mewarnai sementara mereka sendiri tidak tahu seperti apakah warna Islam yang sejati? Bagaimana mereka bisa memperbaiki sementara mereka sendiri tidak tahu seperti apa kebaikan yang sejati? Ya, nantinya mereka akan mengalami kejadian seperti yang dikatakan oleh salah seorang tokoh mereka sendiri, “Diwarnai dan bukannya mewarnai.” Dia juga mengatakan, “Sekarang sudah punya kekuasaan, berani nggak mendakwahkan tauhid dan memberantas syirik?”. Nah, apa ya mereka itu tidak mau berpikir? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS. al-Israa’: 36). Kami tak perlu meminta, namun bukti dan saksi telah berbicara…, bertaubatlah wahai harakiyyin!
- Ayat ini menunjukkan wajibnya berlepas diri dan membenci syirik dan pelakunya (lihat al-Jadid, hal. 63). Itu artinya seorang muslim juga semestinya menjauhkan diri dari orang-orang musyrik dan tidak bergabung dengan komunitas mereka, sehingga semata-mata tidak berbuat syirik belum cukup baginya (lihat al-Mulakhash, hal. 47). Inilah yang dimaksud dengan istilah bara’ di dalam bab akidah, yaitu ‘memutus keterikatan hati dengan orang-orang kafir, tidak mencintai mereka, tidak membela mereka dan tidak menetap di negeri mereka -tanpa kepentingan yang dibenarkan-‘ (lihat Kitab at-Tauhid li Shaff Awwal al-‘Aali, hal. 96).
- Membekali diri dengan ilmu merupakan kewajiban. Karena mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kewajiban. Sementara hal itu tidak mungkin terwujud tanpa ilmu (lihat al-Mulakhash, hal. 46). Oleh sebab itu mempelajari tauhid -sebelum mendakwahkannya- adalah sebuah kewajiban, bahkan ia termasuk kewajiban yang paling agung!
- Ayat ini juga menunjukkan salah satu rambu-rambu dakwah -sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah dalam ceramahnya Manhaj al-Anbiya’ fi Da’wah ila Allah– bahwa dakwah semestinya ditegakkan secara berjama’ah (bersatu padu), bukan sendiri-sendiri (bercerai-berai). Sebagaimana diisyaratkan oleh ayat ini, “Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku”. Ini mengisyaratkan adanya persatuan/jama’ah. Sebagaimana dalam ayat lain Allah ta’ala menyebutkan, “Saling menasehati dalam kebenaran dan saling nenasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 3). Sebagaimana pula dalam ayat lain yang secara tegas memerintahkan, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah…” (QS. Ali Imran: 103). Dan juga ayat-Nya (yang artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang musyrik, yaitu yang memecah belah agamanya sehingga menjadi bergolong-golongan. Masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.” (QS. ar-Ruum: 31-32). Dan perkumpulan apa pun yang dibuat oleh manusia tentu saja menuntut adanya sikap saling pengertian, bukan sikap ingin menang sendiri dan saling meremehkan. Kalau orang yang di pasar saja dengan akidah dan manhaj yang berbeda-beda bisa ‘bersatu’ demi mendapatkan keuntungan dunia, lalu mengapa para da’i -yang konon katanya memiliki akidah dan manhaj yang sama- yang menginginkan keuntungan akherat dengan dakwahnya justru bertikai dan memusuhi sesamanya? Apakah kita telah melupakan prinsip yang agung ini ayyuhal ikhwah? Dengarkanlah terjemah nasehat Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah berikut ini yang disampaikan dalam rangkaian Daurah Ilmiah di Bantul 2009 beberapa waktu yang lalu (download ceramah).